Pada tahun 1624 Sultan Agung menaklukkan pulau Madura. Raden
Prasena, salah seorang bangsawan Madura, ditawan dan dibawa ke Mataram. Karena
ketampanan dan kelakuannya yang baik, Sultan Agung menyukai Raden Prasena. Ia
kemudian diangkat menjadi menantu dan dijadikan penguasa bawahan Mataram untuk
wilayah Madura Barat, dengan gelar Panembahan Cakraningrat atau Cakraningrat I.
Cakraningrat I lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di Madura.
Anak Cakraningrat dari selir, bernamaRaden Demang Melayakusuma, menjalankan
pemerintahan sehari-hari di Madura Barat. Mereka berdua sekaligus juga menjadi
panglima perang bagi Mataram.
Setelah Sultan Agung wafat, pemerintahan Mataram dipegang oleh Amangkurat I,
yang memerintah dengan keras dan menjalin persekutuan dengan VOC. Hal ini menimbulkan
gelombang ketidak-puasan pada kerabat istana dan para ulama, yang ditindak
dengan tegas oleh Amangkurat I. Pertentangan yang sedemikian hebat antara
Amangkurat I dan para ulama bahkan akhirnya berujung pada penangkapan, sehingga
banyak ulama dan santri dari wilayah kekuasaan Mataram dihukum mati.
Pangeran Alit, adik Amangkurat I sendiri pada tahun 1656
melakukan pemberontakan. Cakraningrat I dan Demang Melayakusuma diutus untuk
memadamkan pemberontakan berhasil dalam tugasnya, akan tetapi keduanya tewas
dan dimakamkan di pemakaman Mataram di Imogiri.
Penguasaan Madura kemudian dipegang oleh Raden Undagan, adik Melayakusuma yang
kemudian bergelar Panembahan Cakraningrat II. Sebagaimana ayahnya, Cakraningrat
II juga lebih banyak berada di Mataram daripada memerintah di
Madura.
Pemberontakan Trunojoyo
Ketidakpuasan terhadap Amangkurat I juga dirasakan putra
mahkota yang bergelar Pangeran Adipati Anom. Namun Adipati Anom tidak berani
memberontak secara terang-terangan. Diam-diam ia meminta bantuan Raden Kajoran
alias Panembahan Rama, yang merupakan ulama dan termasuk kerabat istana
Mataram. Raden Kajoran kemudian memperkenalkan menantunya, yaitu Trunojoyo
putra Raden Demang Melayakusuma sebagai alat pemberontakan Adipati Anom.
Trunojoyo dengan cepat berhasil membentuk laskar, yang
berasal dari rakyat Madura yang tidak menyukai penjajahan Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II, yang
kemudian diasingkannya ke Lodaya, Kediri. Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut
kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai raja merdeka di Madura
barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Pemberontakan ini
diperkirakan mendapat dukungan dari rakyat Madura, karena Cakraningrat II
dianggap telah mengabaikan pemerintahan.
Laskar Madura pimpinan Trunojoyo, kemudian juga bekerja
sama Karaeng Galesong, pemimpin
kelompok pelarian warga Makassar pendukung Sultan
Hasanuddin yang telah dikalahkan VOC. Kelompok tersebut
berpusat di Demung, Panarukan. Mereka setuju untuk mendukung Trunojoyo
memerangi Amangkurat I dan Mataram yang bekerja sama dengan VOC. Trunojoyo
bahkan mengawinkan putrinya dengan putra Karaeng Galesong untuk mempererat
hubungan mereka. Selain itu, Trunojoyo juga mendapat dukungan dari Panembahan
Giri dari Surabaya yang juga tidak menyukai Amangkurat I karena tindakannya
terhadap para ulama penentangnya.
Di bawah pimpinan Trunojoyo, pasukan gabungan orang-orang
Madura, Makassar, dan Surabaya berhasil mendesak pasukan Amangkurat I.
Kemenangan demi kemenangan atas pasukan Amangkurat I menimbulkan perselisihan
antara Trunojoyo dan Adipati Anom. Trunojoyo diperkirakan tidak bersedia
menyerahkan kepemimpinannya kepada Adipati Anom. Pasukan Trunojoyo bahkan
berhasil mengalahkan pasukan Mataram di bawah pimpinan Adipati Anom yang
berbalik mendukung ayahnya pada bulan Oktober 1676. Tanpa diduga, Trunojoyo
berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Amangkurat I terpaksa melarikan diri
dari keratonnya dan berusaha menyingkir ke arah barat, akan tetapi kesehatannya
mengalami kemunduran. Setelah terdesak ke Wonoyoso, ia akhirnya meninggal di
Tegal dan dimakamkan di suatu tempat yang bernama Tegal Arum. Sesudahnya,
Susuhunan Amangkurat I kemudian juga dikenal dengan julukan Sunan Tegal
Arum. Adipati Anom dinobatkan menjadi Amangkurat II, dan Mataram
secara resmi menandatangani persekutuan dengan VOC untuk melawan Trunojoyo.
Persekutuan ini dikenal dengan nama Perjanjian Jepara (September 1677) yang
isinya Sultan Amangkurat II Raja Mataram harus menyerahkan pesisir Utara Jawa
jika VOC membantu memenangkan terhadap pemberontakan Trunojoyo.
Trunojoyo yang setelah kemenangannya bergelar Panembahan Maduretno, kemudian mendirikan pemerintahannya sendiri. Saat itu hampir seluruh wilayah pesisir Jawa sudah jatuh ke tangan Trunajaya, meskipun wilayah pedalaman masih banyak yang setia kepada Mataram. VOC sendiri pernah mencoba menawarkan perdamaian, dan meminta Trunojoyo agar datang secara pribadi ke benteng VOC di Danareja. Trunojoyo menolak tawaran tersebut.
Kekalahan oleh VOC
Setelah usaha perdamaian tidak membawa hasil, VOC di bawah
pimpinan Gubernur Jendral Cornelis
Speelman akhirnya memusatkan kekuatannnya untuk menaklukkan
perlawanan Trunojoyo. Di laut, VOC mengerahkan pasukan Bugis di bawah
pimpinan Aru Palakka dari Bone untuk mendukung
peperangan laut melawan pasukan Karaeng Galesong; dan mengerahkan pasukan Maluku di bawah
pimpinan Kapitan Jonker untuk melakukan serangan
darat besar-besaran bersama pasukan Amangkurat II.
Pada April 1677, Speelman bersama pasukan VOC berangkat
untuk menyerang Surabaya dan berhasil menguasainya. Speelman yang memimpin
pasukan gabungan berkekuatan sekitar 1.500 orang berhasil terus mendesak
Trunojoyo. Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC.
Akhirnya Trunojoyo dapat dikepung, dan menyerah di lereng Gunung Kelud pada
tanggal 27 Desember 1679 kepada Kapitan Jonker. Trunojoyo kemudian diserahkan
kepada Amangkurat II yang berada di Payak, Bantul. Pada 2 Januari 1680, Amangkurat
II menghukum mati Trunojoyo.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar